Selasa, 13 Desember 2011

WEJANGAN

0 komentar
 WEJANGAN NABI KHIDIR Kpd KANJENG SUNAN KALI JOGO


Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki

Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.

Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya

Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami

Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku

Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.

Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu

Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi

Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.

Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.

Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.

mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.



Wejangan Kanjeng Sunan Kalijogo marang Kyai Ageng Bayat Semarang (Sekar Macapat – kanthi Tembang Dandang Gulo).

Urip iku neng ndonya tan lami.
Umpamane jebeng menyang pasar.
Tan langgeng neng pasar bae.
Tan wurung nuli mantuk.
Mring wismane sangkane uni.
Ing mengko aja samar.
Sangkan paranipun.
Ing mengko podo weruha.
Yen asale sangkan paran duk ing nguni.
Aja nganti kesasar.


Yen kongsiho sasar jeroning pati.
Dadya tiwas uripe kesasar.
Tanpa pencokan sukmane.
Separan-paran nglangut.
Kadya mega katut ing angin.
Wekasan dadi udan.
Mulih marang banyu.
Dadi bali muting wadag.
Ing wajibe sukma tan kena ing pati
Langgeng donya akherat.

Kapundhut saking :http://www.wonosari.com



wejangan-wejangan

Bait Godhong ijo ingkang tanpa wreksa (daun hijau tak berpohon) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut: Godhong ijo tanpa wreksa iki,//Semunira ing masalah ing rat,//Lah iya urip jatine.//Dudu napas puniku,//Dudu swara lan dudu osik,//Dudu paningalira,//Dudu rasa perlu,//Dudu cahya kantha warna,//Urip jati iku, nampani sakalir,//Langgeng tan kena owah.

(Daun hijau yang tak berpohon,//Itu lambang masalah alam.//Yaitu hidup sejatinya.//Bukan nafas itu,//Bukan suara dan bukan gerak batin,//Bukan pemandangan,//Dan bukan rasa syahwat,//Bukan cahaya, bangun atau warna.//Itulah hidup sejati, yang menerima segala persaksian,//Kekal tak ada ubahnya.)

Ki Ageng menggunakan tumbuhan untuk menjelaskan ajaran esoterisnya. Daun, menurut ilmu biologi, terjadi karena evolusi pertumbuhan sebuah biji. Biji menumbuhkan akar, akar lalu menumbuhkan batang. Batang pohon kemudian menumbuhkan cabang, lalu cabang menumbuhkan ranting, dan ranting akhirnya menumbuhkan buah serta daun. Secara biologis, sebuah daun tidak akan tumbuh tanpa adanya sebuah ‘pohon’ (sebutan untuk keseluruhan organis dari biji, akar, batang, cabang, ranting, buah, dan daun). Tapi jika ada ‘daun yang hidup tanpa pohon’, maka itu sangat ajaib. Ki Ageng menggunakan analogi ‘daun hijau tak berpohon’ ini untuk mengutarakan ajaran ‘hidup esoteris’ (urip jati). Seperti ‘daun hijau yang tak berpohon’, kehidupan yang dijalani oleh seorang ‘esoteris’ tidak lagi dipahaminya sebagai kehidupan orang banyak, yang masih dipenuhi oleh persepsi fisikal seperti ‘nafas’ (jika tidak bernafas, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati), ‘suara’ (jika tidak bersuara, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati’), ‘gerak batin’ (jika tidak berperasaan, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati’), ‘pemandangan’ (jika daya nalar tidak berfungsi, maka orang awam menyebutnya ‘mati’), ‘rasa syahwat’ (jika tidak memiliki daya nafsu, maka disebut ‘mati’), ‘cahaya’, ‘bangun’ serta ‘warna’ (jika indera penglihatan dan indera sentuhan tidak berfungsi, maka orang menyebutnya ‘mati’).

Kehidupan yang hendak dijalani, dinikmati, dan diselesaikan oleh seorang ‘mistikus’ adalah kehidupan yang mengatasi persepsi fisikal yang disebutkan itu semua, dan itu sengaja dilakukannya agar ia mencapai pengetahuan esoteris, yang merupakan dambaannya sendiri.

Seorang mistikus sejati, yang telah menjadi ‘daun hijau tanpa pohon’, memahami kehidupan dunia dengan pemahaman yang lebih tinggi dari yang dimiliki banyak orang. Ia memahami ‘Kehidupan Esensial’, yakni ‘kehidupan asaliah’—kehidupan asli yang belum dihiasi oleh bentuk-bentuk fisik. Kehidupan yang masih berupa esensi. Masih berupa ‘ruh’, belum menjadi ‘badan’. Kehidupan yang ‘belum memerlukan pohon’. Kehidupan yang masih dalam ‘dekapan Tuhan’. Kehidupan itu belum dapat disifati dengan sifat-sifat formal-fisikal seperti ‘mati’, ‘hidup’, ‘asal’, ‘akhir’, ‘bahagia’, atau ‘sengsara’. Kehidupan tanpa ‘ajektif’, dan karenanya ia kekal, tak berubah-ubah. Sebab, perubahan adalah tanda fisikal, sedangkan kehidupan ini ‘belum berbadan’ alias rohaniah. Dalam tradisi Sufisme, kehidupan itu disebut al-hayyu. Bahkan, kata al-hayyu, dalam Sufisme, merupakan salah satu representasi Tuhan, sebagaimana terdapat dalam formula ’99 Nama-Nama Tuhan yang Indah’ (Asmâul-husnâ).


 Bait yang berbunyi ingkang segara agung (samudera besar), dijelaskan maknanya sebagai berikut:
Ingkang samodra agung, Tanpa tepi anerambahi. Endi kang aran Allah? Tan roro tetelu. Kawulane tanna wikan, Sirna luluh kang aneng datu’llah jati, Aran sagara Purba.
(Samudera besar yang tak bertepi, meresapi seluruh alam. Manakah yang disebut Allah? Tak ada lainnya (dua atau tiga). Makhluknya tak ada yang menyadari, Karena musnah terlarut dalam zat Allah sejati, Yang disebut Lautan Purba.)
‘Samudera besar’ menyimbolkan sesuatu yang tak bertepi, tak berbatas, dan melingkupi seluruh alam; agama menyebutnya ‘Tuhan’ atau ‘Allah’. Simbolisme ‘samudera besar’ dipakai untuk menggambarkan ketunggalan zat Allah. Dalam samudera, misalnya, ada organisme-organisme yang hidup dengan cara menggantungkan diri sepenuhnya dengan air samudera. Jika air itu kering, maka organisme-organisme yang di dalamnya akan mati. Begitu pula dengan Allah. Semua ciptaanNya amat bergantung kepadaNya, sama tergantungnya dengan ikan terhadap air. Jika Allah tidak ada, sama dengan tidak adanya air, maka semua ciptaan tidak akan ada (sama dengan tidak adanya ikan tadi). Seluruh ciptaan, karena amat tergantung pada Allah, maka tentu kekuasaannya terbatas; terbatas pada usia, umur, dan kematian. Hanya Allah yang tidak terbatas; Ia senantiasa Abadi, Takterbatas, Luas, Hidup, yang disimbolkan pula dengan ‘Lautan Purba’.
Simbol ‘samudera luas’ atau ‘lautan asal’ juga menggambarkan asal seluruh keberadaan. Allah disebut ‘Lautan Asal’, karena ialah asal mula dari segala penciptaan. Sebelum segalanya tercipta, hanya ada Allah, dan sesudah segalanya tiada, hanya ada Allah. Dalam Al-Quran, kitab Muslim, dikatakan ‘Innaa lillaah wa innaa ilaihi raaji’uun’ (sebenarnya kita adalah milik Allah dan kita kembali kepadaNya), yang amat sinkron dengan simbol ‘lautan purba’ ini.


 Bait lawan papan kang tanpa tulis (dan tempat yang tak bertulis) dijelaskan maknanya dalam pepali berikut ini:

Ana papan ingkang tanpa tulis. Wujud napi artine punika, Sampyuh ing solah semune, Nir asma kawuleku, Mapan jati rasa sejati. Ing njro pandugeng taya. Marang Ing Hyang Agung. Pangrasa sajroning rasa, Sayektine kang rasa nunggal lan urip,Urip langgeng dimulya.

(Ada tempat yang tak bertulisan. Kosong mutlak artinya itu, Dalamnya lenyap terlarut segala gerak dan semu. Hapus sebutan Aku karena Masuk kedalam inti rasa sejati, Didalam tiada bangun (sadar) Kediaman Hyang Agung Perasaan masuk kedalam rasa, Sebenarnya rasa sudah bersatu dengan hidup, Hidup kekal serba nikmat).

Biasanya, tempat (ruang, dimensi) memiliki nama, atau paling tidak, dinamai oleh manusia dengan kata-kata atau bahasa. Tapi disini, Ki Ageng Selo menyebut adanya ruang atau dimensi yang tak sanggup dilukiskan dengan kata-kata atau bahasa manusia. Ruang (dimensi) itulah yang disebut agama sebagai ‘ruang Allah’ (baitullah, ‘rumah Allah’). Maksudnya, bukan baitullah yang ada di Mekkah, Saudi Arabia, yang juga merupakan lambang atau simbol ‘ruang Allah’, tapi maksudnya sungguh-sungguh ‘ruang Allah’, suatu dimensi tersendiri yang tak mampu dinamai kata-kata dan tak mampu disebut dalam bahasa biasa, yang di dalamnya Allah berada. Ki Ageng menyebutnya ‘zat Allah’ atau ‘kekosongan mutlak’ (wujud napi artine punika).

Dalam ‘ruang kosong mutlak’ atau ‘marang ing Hyang Agung’ (kediaman Tuhan Agung), tak ada prinsip ‘gerak’ lagi, sebab ‘gerak’ hanya berlaku bagi ciptaan, sedangkan ‘Si Penggerak’ yaitu Allah, tidak lagi membutuhkan ‘gerak’, justru dari dialah ‘gerak’ bagi ciptaan itu ada dan dia sendiri tidak bergerak. Seperti dalang, dialah yang menggerakkan semua wayang, tapi dia sendiri tidak digerakkan, karena dia itu asalmula ‘gerak’ dan ‘gerak’ itu sendiri. Aristoteles menyebutnya sebagai ‘Sang Penggerak yang tak tergerakkan’ (The Unmoved Mover).

Orang yang ingin memasuki ‘ruang Allah’, dapat memasukinya dengan cara olah-rohani atau ‘jalan mistik’. Dalam ‘jalan mistik’, manusia melenyapkan dirinya (fana’) untuk masuk ke ‘kekosongan mutlak’ itu, masuk ke dalam zat Allah dan melarutkan zatnya dalam zat Allah. Jika seorang berhasil masuk ke zat Allah, maka segala kemanusiaannya untuk sementara lenyap, seperti orang yang mabuk atau orang pingsan. Kesadarannya hilang, diganti dengan bentuk kesadaran lain, yakni ‘rasa nikmat’ (ekstase), seperti rasa nikmat dari anggur yang memabukkan.

Bait tunjung tanpa selaga (teratai tak berkelopak) dijelaskan maknanya sebagai berikut:
Sasmitane ingkang tunjung putih/Tanpa slaga inggih nyatanira/Rokhilafi satuhune/Datullah ananipun/Yeku sabda ingkang arungsit./Iku pan bangsa cipta,/Hananira iku./Tandha kang darbe pratandha.

(Isyarat teratai putih/Tak berkelopak ialah kenyataan./Ruhilafi sebenarnya./Itu adanya datullah,/Itu, sabda yang sangat pelik./Itu kan perihal cipta,/Yang disebut itu./Sifat yang memiliki segala sifat.)

Ada teratai, tapi tak berkelopak. Dan kalau teratai tak berkelopak, bagaimana orang dapat mengenalinya, sedangkan bunga teratai nampak jelas sebagai teratai apabila ia berkelopak. Ternyata, yang dimaksud Ki Ageng disini bukanlah bunga teratai yang material dan empiris, yang akan nampak jika dilihat oleh mata fisikal manusia. ‘Bunga teratai yang tak berkelopak’ ialah simbol hakikat wujud Tuhan. Hakikat wujud Tuhan mustahil ditangkap oleh mata fisikal; ia hanya dapat disimbolkan dengan daya imajinasi manusia, tapi tentunya dengan simbolisme yang tidak biasa, seperti simbolisme ‘bunga teratai tak berkelopak’ yang sangat di luar kebiasaan itu. Dalam ajaran Sufisme-Jawa, hakikat wujud Tuhan disebut dengan roh ilapi atau ruhilafi. Buku Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa karangan P.J. Zoetmulder sangat membantu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ruhilafi disini. Zoetmulder menjelaskan, bahwa ruhilafi ialah ‘...merupakan mata rantai utama antara Tuhan dan dunia. Berulang kali diumpamakan atau disamakan dengan huruf alif, huruf pertama dalam alfabet. Seperti semua huruf merupakan tanda, jadi manifestasi mengenai apa yang dilambangkan, sedangkan huruf alif merupakan huruf pertama, demikian pula roh ilapi merupakan manifestasi utama di antara para manifestasi ilahi. Oleh karena itu dinamakan ‘’ratu semua roh’’ [ratu ning nyawa] atau ‘’ratu segala sesuatu yang nampak [ratu ning salir kumelip]’ (Zoetmulder 1990:192-193). Jadi, ruhilafi ialah roh pertama, manifestasi pertama, wujud pertama, bentuk pertama, atau nampakan pertama dari Tuhan; agar Tuhan dapat dikenali oleh manusia, tentunya lewat ‘mata-batin’, bukannya ‘mata fisikal’. Nampakan pertama Tuhan itu sangat nyata, senyata-nyatanya, sehingga walaupun ia ‘tak berkelopak’, ia masih dapat dikenali sebagai ‘bunga teratai’.


 Bait damar murup tanpa sumbu nenggih (lampu menyala tanpa sumbu) dijelaskan artinya sebagai berikut:
Damar murup tanpa sumbu nenggih/Semunira urup aneng Karsa./Dat mutlak iku jatine!/Anglir tirta kamanu,/Kadi pulung sarasa jati./Puniku wujud tunggal,/Aranira iku.

(Lampu menyala tanpa sumbunya/Itu lambang nyala pada Kehendak./Dat Mutlak itu sebenarnya!/Sebagai air yang bercahaya,/Wahyu kesatuan dengan rasa sejati./Itulah bentuk tunggal,/Yang disebut itu.)

Ada lampu, tapi tanpa sumbu. Ini pasti lampu yang luar biasa, sebab mana ada lampu yang dapat menyala tanpa bantuan sumbu. Justru dari sumbu itulah api mengeluarkan cahaya dan cahaya itu dapat menerangi sekelilingnya. Dan keberadaan lampu sangat bergantung pada sumbu yang mengeluarkan cahaya itu. Tapi, lampu ini berbeda; ia bukan lampu material. Ia simbol dari ‘nyala kehendak Tuhan’. Seperti ‘lampu yang nyala tak bersumbu’, kehendak Tuhan menyala-nyala secara absolut dan mandiri; nyalanya bukan karena pribadi lain yang merupakan ‘sumbunya’, tapi menyala karena diriNya sendiri. Ini serupa dengan penjelasan sebelumnya, bahwa Aristoteles memandang Tuhan sebagai ‘Sang Penggerak yang tak tergerakkan’ (The Unmoved Mover), yang bergerak sendiri tanpa bantuan pribadi lain dan merupakan gerak tunggal yang paling pertama dan yang absolut.

Simbolisme ‘lampu menyala tanpa sumbu’ untuk merepresentasi hakikat kehendak Tuhan ternyata terinspirasi dari simbolisme Quranik. Dalam Surat Al-Nur 35 terdapat simbolisme ‘lampu’. Disitu dikatakan: Tuhan (disimbolkan dengan) ‘Cahaya Langit dan Bumi’. CahayaNya dianalogikan sebagai sebuah miskat yang di dalamnya ada lampu besar. Lampu besar itu sendiri ada di dalam kaca, sedangkan kaca itu dianalogikan dengan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak pula di sebelah Barat. Minyak tersebut bisa menerangi sekelilingnya, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Tuhan membimbing orang yang Ia kehendaki menuju cahaya-Nya itu.. Simbol ‘minyak menerangi tanpa api’ ini amat analog dengan simbol ‘lampu menyala tanpa sumbu’ di atas.


Simbolisme ‘Muazzin tanpa Bedug’

Bait Modin tan ana bedhuge (muazzin tanpa bedug) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut:

Pasemone kang modin puniki,//Pan bedhuge muhung aneng cipta,//Iya ciptanira dhewe.//Pan ingaken sulih Hyang Widi.//Cipta iku Muhammad,//Tinut ing tumuwuh.//Wali, mukmin datan kocap.//Jroning cipta Gusti Allah ingkang mosik,//Unine: rasulullah.//Lamun meneng Muhammad puniki,//Ingkang makmum apan jenengira.//Dene ta genti arane,//Yen imam Allah iku,//Ingkang makmum Muhammad jati.//Iku rahsaning cipta,//Sampurnaning kawruh.//Imam mukmin pan wus nunggal,//Allah samar Allah tetep kang sejati,//Wus campuh nunggal rasa.

(Yang dilambangkan oleh muazzin itu,//Karena akal berperanan bedug juga,//Ialah akalmu sendiri.//Akan tetapi kamu itu//Sebenarnya mewakili Hyang Widi juga.//Akal itu Muhammad,//Pemimpin hidupmu.//Wali, mukmin tak disebut,//Dalam akal Tuhan Allah yang bergerak,//Katanya: rasulullah.//Dalam ketenangan Muhammad itu,//Yang makmum ialah kamu sendiri.//Sebaliknya pada yang disebut,//Allah sebagai imam//Yang makmum ialah Muhammad sejati.//Itulah inti-sari akal,//Kesempurnaan ilmu.//Imam mukmin sudah bersatu,//Allah bayangan dan Allah tetap yang sejati,//Sudah campur bersatu rasa.)

Di sini, Ki Ageng memakai simbolisme dari tradisi Islam, yakni ‘shalat’. ‘Shalat’ ialah cara dan alat manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Sebelum ‘shalat’, biasanya dikumandangkan ‘azan’ (panggilan untuk bershalat), dan sebelum azan dilakukan, biasanya menurut tradisi Jawa, dibunyikanlah ‘bedug’ (alat penanda masuk waktu shalat). Setelah ‘bedug’ dibunyikan, maka ‘muazzin’ (orang yang bertugas melakukan azan) mulai bekerja memanggil orang untuk shalat di mesjid. Setelah ‘azan’ dan setelah orang banyak yang masuk mesjid, maka dimulailah shalat. Shalat dipimpin oleh seorang ‘imam’ (pemimpin shalat), dan orang yang mengikuti di belakangnya disebut ‘makmum’ (orang yang dipimpin oleh imam). Semua terma-terma khas dalam tradisi ‘shalat’ Islam ini digunakan Ki Ageng Selo untuk simbolisme ‘ilmu esoteris’.

Kalau seseorang telah berhasil menguasai ‘ilmu esoteris’ (ilmu tentang rahasia-rahasia ketuhanan), yang disimbolkan disini sebagai ‘muazzin’, maka ia tidak lagi tergantung pada alat-alat (seperti penalaran logika dan penginderaan fisikal) untuk berhubungan dengan Tuhan, yang disimbolkan disini dengan ‘bedug’. Ia tidak lagi memerlukan ‘bedug’, karena ia sudah masuk ke tingkatan ‘muazzin’ yang sempurna ilmu esoterisnya. Dan ‘muazzin’ ini, jika ia hendak berhubungan dengan Tuhan (‘shalat’ dalam tradisi Islam), maka ia tinggal mempersilahkan Tuhan sebagai ‘imam’ nya. Ia tidak berimam dengan akalnya. Ia tidak pula berimam pada panca-inderanya. Walaupun akal dan inderanya cukup membantu dalam persepsinya akan Tuhan (di sini disebut ‘Allah bayangan’), seorang ‘muazzin’ yang tanpa ‘bedug’ akan meninggalkan keduanya di belakang, saat ia berimam pada Allah saja (di sini disebut ‘Allah tetap yang sejati’). Persepsi akaliah dan inderawinya akan melebur, bercampur, bersatu dalam rasa. Peleburan ini dalam tradisi Sufisme disebut fana (peniadaan persepsi akaliah dan persepsi inderawi untuk menyaksikan adanya Tuhan).



Simbolisme 'Angka Satu'

Bait-bait seperti lawan sastra adi kang linuwih, lawan Qur'an pira sastra nira, estri priyadi tunggale, lawan ingkang tumuwuh tidak diterangkan jelas-jelas oleh Ki Ageng Selo dalam Pepalinya. Jadi, berikut ini adalah tafsiran kami sendiri, yang bisa saja salah dan bisa pula benar. Sebelum menafsirkannya, mari kita lihat terjemahannya lebih dulu, yang sangat piawai dikerjakan oleh R.M. Soetardi Soeryohoedoyo.

(Dan sastra indah-utama, berapakah jumlahnya? Kitab Al-Qur'an, berapakah sastranya? Perempuan dan laki-laki utama, ada berapakah jodohnya? Dan berapakah jumlah yang tumbuh?)

Dalam ketiga bait ini, Ki Ageng memberikan tiga pertanyaan, yang diharapkannya tiga pertanyaan itu dapat dijawab dengan pasti dan tegas sebagai 'satu'. Jadi, walaupun Ki Ageng bertanya 'berapa', sebenarnya yang ia inginkan ialah jawaban 'angka satu'. Jika ia bertanya 'berapa jumlah sastra indah-utama?', maka tentulah yang ia harapkan dijawab dengan 'satu', yakni 'Sastra Mistikal', sastra yang tengah Ki Ageng Selo sendiri karang. Serat Pepali ialah karangannya sendiri yang mengandung estetika sastrawi yang agung, sekaligus mengandung ajaran esoteris yang amat rahasia.

Jika Ki Ageng Selo bertanya 'berapa sastra yang ada dalam Al-Quran?', maka jawaban yang ia minta pasti ialah 'satu', yakni 'Allah'. Bagi kaum mistikus, 'Allah' adalah entitas estetis yang Maha Indah, yang keindahannya di atas keindahan fisikal rendahan. Sungguh berbeda dari semua obyek keindahan yang mengilhami semua 'seniman rendahan' dalam karya-karya mereka (seperti lukisan-lukisan naturalistik atau sastra mimetik), kaum mistikus mengambil 'Allah' sebagai obyek keindahan yang Maha Indah, sehingga lahirlah puisi-puisi mistikal, syair-syair mistikal, novel-novel mistikal, dan cerpen-cerpen mistikal yang kata-katanya sangat mengandung estetika agung. Ini sesuai dengan suatu adagium terkenal di kalangan para Sufi: Innal-laaha jamiilun, yuhibbu-l-jamaal (Allah itu Maha Indah, yang mencintai keindahan).

Jika Ki Ageng Selo bertanya 'perempuan dan laki-laki utama, ada berapa jodohnya?', maka jawaban yang ia minta pastilah 'satu'. Kata-kata 'perempuan' dan 'lelaki' disini tidaklah dimaksudkannya untuk menyebut pasangan jenis kelamin. Tapi, keduanya ialah simbol-simbol realitas. Dalam Filsafat Taoisme, realitas terbagi menjadi dua, Yin dan Yang. Yin adalah 'jodohnya' Yang; Yin tidak memiliki jodoh selain Yang. Dalam Sufisme begitu pula. Realitas ada dua: Anaa (Saya) berjodoh dengan Al-Haq (Allah), atau dalam ajaran Mohammad Iqbal seorang filsuf Pakistan, khudi (ego dengan 'e' kecil) berjodoh dengan Khudi (Ego dengan 'e' besar). Ki Ageng mungkin hendak menjelaskan dua realitas ini dengan simbol 'perempuan' dan 'lelaki'. 'Perempuan' mungkin merupakan simbol 'makrokosmos' (Alam Besar) dan 'lelaki' mungkin simbol 'mikrokosmos' (Alam Kecil). Makrokosmos tentu saja tidak berjodoh selain dengan mikrokosmos.

Jika Ki Ageng Selo bertanya 'lalu berapa jumlahnya yang tumbuh?', maka lagi-lagi jawaban yang dimintanya ialah 'satu'. Dari dua realitas yang berbeda itu, makrokosmos dan mikrokosmos, akan tumbuh dan berkembang apa yang dinamakan 'kesatuan' (union). Dua menjadi satu. Dualitas menjadi unitas. Dualitas yang saling berkembang, akan tumbuh menjadi unitas. Makrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai 'Allah') dan mikrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai 'manusia'), jika keduanya berkembang dan tumbuh (dalam artian, saling mendekatkan diri), maka akan berbaur dan menyatu. Kaum mistikus memiliki cara khusus untuk 'menyatu dengan Allah' itu, yakni dengan olah-rohani (mistisisme). 'Kesatuan realitas', yang juga di Jawa sering disebut sebagai manunggaling kawulo gusti dan yang sering disebut Filsafat Eksistensialisme sebagai dialog Aku-Engkau (I-Thou), akan tercapai setelah dualitas itu dapat diatasi lewat jalur rohaniah (jalan mistikal).



Simbolisme `Buku, Bulan Purnama, dan Gerhana Bintang'

Bait-bait sentek pisan wus rampung, tanggal pisan purnama sidi, dan panglong grahana lintang diterangkan oleh Ki Ageng sebagai berikut:

sentek pisan wus rampung,//tanggal pisan purnama sidi,//panglong grahana lintang,//Iku semunipun,//kang sampun awas ing cipta.
(Sekali singgung sudah tamat,//tanggal satu bulan purnama,//tidak kurang gerhana bintang,//itulah lambang,//manusia yang sudah waspada akan ciptanya.)

Ki Ageng menggunakan banyak simbol untuk menjelaskan konsep ‘manusia yang sudah waspada akan ciptanya’, atau dalam terminologi Sufi disebut ‘manusia sempurna’ (Insân Kâmil), yaitu manusia yang telah memahami segala rahasia esoteris. Salah satunya ialah simbol ‘buku’. Orang yang sempurna, yang sudah waspada akan ciptanya diibaratkan Ki Ageng dengan orang yang membaca satu buku. Belum sampai ia membaca bab terakhir dari buku itu, ia sudah ‘tamat’. Ia sudah mengerti keseluruhan isi buku itu dengan sekali ‘singgungan’, dengan sekali baca pada bab pertama. Ia tidak perlu lagi membaca semua bab, karena isi seluruh bab sudah ia pahami pada pembacaannya di bab pertama.

‘Manusia sempurna’ juga disimbolkan oleh Ki Ageng dengan simbol ‘bulan purnama’. ‘Manusia sempurna’ tidak perlu berlama-lama mencari ilmu hingga tua, seperti menunggu ‘bulan purnama’ di akhir bulan, jika ia telah memahami hakikat dan rahasia segala penciptaan di usia mudanya, yang disini disimbolkan dengan ``tanggal satu’’ pada awal bulan kalender. ‘Manusia sempurna’, yang merupakan cita-cita hidup kaum rohani (mistik), tidak mengenal kesenioran dalam ilmu esoteris. Baik tua maupun muda, jika ia menimba ilmu esoteris, akan berpotensi untuk mengaktualisasi sebagai ‘manusia sempurna’. Menjadi ‘manusia sempurna’ yang diterangi cahaya hakikat, seperti simbol ‘terangnya bulan purnama’ disini, menurut Ki Ageng, bisa dan mungkin dicapai dalam jangka waktu pencarian yang tidak lama (tanggal satu), asalkan manusia sudah mampu waspada akan ciptanya.

wejangan sunan gunung jati

Manusia sempurna’ juga disimbolkan disini sebagai ‘gerhana bintang yang tidak berkurang-kurang’, yang cahaya pengetahuan esoterisnya memancar pada cahaya pengetahuan esoteris lainnya yang juga memancar, sehingga terjadi ‘gerhana esoteris’. Cahaya pengetahuan esoteris yang disebarluaskan oleh ‘manusia sempurna’ dapat menyadarkan manusia lain akan ciptanya, sehingga manusia lain pun mengandung dan memiliki ‘cahaya’ pula. Semua cahaya itupun memancar satu sama lain, sehingga cahayanya menyerupai gerhana


Syeh Malaya nembah matur, mring Jeng Sunan Gunung Jati, dhuh Pukulun Sang Pinudya amba minta tuduh jati, singir kang sampun kinocap, paran artosipun mangkin.

Wonten ing sih Pukulun, rehing mudha dameng budi, sasat sato umpaminya Jeng Sunan ing Gunung Jati, alon denira ngandika, rungunen mengko sun wisik.

Tegese singir pan kidung, kinarya pangeling-eling, para Syeh tanah Arab yen pana winor ing gending, sedhapur singir punika saking Syeh Ibrahim Arki.

Iya Tatkalane panggut ing kaca ingkang baresih, yeku lawan diwangkara, mangka antarane kadi dahana akanta-kantar wus nyata tanpa ling-aling.

Sabawang sumilir iku, iya sang sedya ngulati, kalawan kang ingulatan, iya kang nedya panggih, yayi rasakna den karsa, puniku ujaring singir.

Woten malih singiripun, asale saking Syeh Sabti satuhu ma’rifatira, tetep dadi aling-aling, antarane kang tumingal neggihmring kang den tingali.

Sirnakna ing tingalipun, ing liyan kang den tingali, wonten malih singiringwang, nenggih saking Syeh Mukidin Kangjeng Syeh Mukidin mapan, kang putra Syeh ing Arabi.

Yen mikir tanjeh sireku, dadiya kang banget nuli, yen amikir tasbeh siraing wewilangane den dadi, yenkatam karone sira, dadi surasa sayekti. uwis

Analingalana sireku, ing gusti kalawan Gusti kalayan kumpule ika, aja pisahe den pikir, yen uwis mengkono sira, Maha Suci Maha Gusti.

Katekan nyataning makluk kalamun sira nduweni mata kalawan paningal, kang makluk iku dadi, kanyatahaning Kalekan, yen sira iku nduweni.


Sayektine kang kadulu liyan kang tngal sawiji sawiji ing dalem rupa, puniku singir pan maksih, Kangjeng Syeh nama, Mujidina Ibnul ‘Arabi.

Padha nyirnakna puniku, tetulisan kang tinulis lan sakehe kitabira kang muni pangucap ilmi, lamun ora mangkonowa tan kagepok kang sayekti.

Lawan ing tyas tan-a-teguh katungkul pijer ngulati, karana satemenira, tulisanira tan keni genendholan kang sanyata, ing sawuwusingsun iki.

Minangka kutha pikukuh, ing kutha angenguthani pan kutha kuthaning kutha, kederan kang angubengi, ing lelaren pancadriya, tan kena binedhah dening.

Sasmita dangdananipun, apan ora angentasi amung binedhah ing baka yeku ingkang angubengi ageme Sye Aribi Llah kang darbe kidung puniki.

Lah kidungipun, Syeh Abu Jajib Bastami tan ana paningalira, amung ingkang angalingi, pan ora ana kang ilang pan anging pandengireki.

Sapa yun wruh ing sireku, iya tingalana saking saking sira sarta sira temuning sira sireki, pan dumeling ananira, sesama sameng sesami.

Ora beda lawan ingsun, yen dedeya iku sisip, yen tunggala iku sasar sasal sisip wujut siji agawok ingsun tumingal, ing wong angulati Gusti.

Sun-srahaken birahiningsun, marang angeningsun iki, mangka geseng ciptaningwang geni badan kang anggesengi sayektine nuli kena, ingkang pada biraheni.

Sayekti badan kemelun,remuk ing reh manaput lah singir malih punika, kidunge Syeh Rudadi, mangkana pandhita mulya Sujadi wa kuwattihi.

Pangandikaning Hyang Agung, kalamun ingsun kapanggih kalawan kekasihingwang dadi kawula pun mami, kalamun ingsun kapisah kalawan kekasih-mami.

Sun dadi ratuning ratu-ratu ratuning sabumi ratu angratoni jagad, ratu ratu angratoni, ing ratu ratu sadaya mangkana Jeng Syeh Rudadi.

Lah punika singiripun, Syeh Semangu Asarani, ing ngendi ananing ana ananing beda ing ngendi, ananging beda lan ana, ape pisan apa tunggil.

Lawan ngendi wohing banyu kang metu saking wiyati tegese woh banyu ika saking wite ingkang mijl yekti wenang saking tunggal paworing woh lawan uwit.

Uwus ikuyayi mung puniku, mungguh babaring singir, tarbukaning sangkan paran keni kinarya nyaringi, panglimbanging budinira, Syeh Malaya anampeni.

Kanugrahan kang linuhung, sarahsaning wos wus tamsil Syech Malaya ngaras pada, mring Jeng Sunan Gunung Jati alon wau aturira wong dadya guru Sajati.

Yen kirang waspadeng semu, kasamaran temah maring rahsane datan kacekap kathah guru-guru sisip, kengser sira kabelasar, tulus amangeran tulis.

Jeng Sunan ngendika arum, angel pratingkahing urip sanadyan ahliya kitab suluk ahli pikir, lamun ora puruhita tatane kurang premati.


Nabi Musa ngaku luhur tanpa guru ngamungken nyaring tulis, ngadelaken Toretipun,den nyana wus anguwisi, tan wruh lamun maksih adoh.

Meh kelantur ing pratingkahing esmu puguh, gya binendon ing Hyang Widhi nulya kinen anggeguru, nggeguru mring Nabi Kilir kang kari manut mangkono.

Sajatine ingkang aran guru iku, dudu guru muruk ngaji, dudu guru muruk ngidung,dudu guru muruk tulis dudu gur muruk ngedot.

Dudu guru muruk kasekten puniku, dudu guru muruk dhikir paguron anane aku, dene guru kang sayekti, kang amejang ‘ilmu jatos.

Aja sira nggeguru pandhitabesus, pandhita sifat nameki lan …?… malihipun,  taberen sanadyan nenggih yeku pandhita angemong.

Tuwin aja nggeguru pandhita lengus yeku pandhita sak serik…

….

Ora pegat mulyakken sariranipun, pujine Ngabekti bumi saosike enengipun ora samar dadi puji sembah pujine tan pegot.

Dene ingkang pandhita wiladi iku asareh wuwuse aris tan wuruk sudi karyeki  lakune  pandhita sufi den antepi lair batos.




Wonten ingkang pandhita durung satuhu kaselak pangakuneki …?…endon wilangipun nyamut-nyamut maksih tebih dulung mantra mantra nggepok.

Maksih sara kewala pralambangipun, tuna …?..bet kang samya amrih, pandhita mangkono iku, umpamane muridneki, wong ngimel klasamoh.


Poma yayi estokna yen anggeguru, saliyane saking mami denawas wasanaipun angele wong ulah ilmu yen keblender amalendo.

Syeh Malaya alon den umatur, mring Jeng Sunan Gunung Jati sewu ing pamundinipun wrin rerencangan rericik parabota amrih akwroh.

Nanging ulun mangke kalilanana matur lampahaning para Nabi kang sampun kawarta wau, Nabi Musa Nabi Kilir dene teko sewu elok.

Nabi Musa amengku sari’at agung tur ngiras daya Narpati Nabi Kilir Nabi Rarul, sari’at tan amengkoni mung mung mungkul sarehing lakon.

Teko Nabi Kilir kang linuhur, amung kang buwana balik asor asale aluhur, kang luhur asor mayat sih  Jeng Sunan ngandika alon.

Ilmu iku tan pasthi neng janma luhur, tan pasthi neng janma singgih tan pasthi neng janma sepuh, ana nugraha pribadi terkadhang ana wong anom.



SINOM

Kadhang aneng papa, ora kena den gagapi, tan kena kinaya ngapa, pepancenira pribadi, yen rinilan ing Widhi, nadya durung masanipun, angulah kalepasan, terantame wus pratitis angungkuli pangawikaning …?..kuma.

Kaya mau Nabi Musa kalawan Jeng Nabi Kilir, kawruhe ing kasuyatan, linuhurken Nabi Kilir, marga wus anglakoni akarem mring ora iku, anyegah napsu hawa, ing nala dumilah wening, konang-konang kahananing kene kana.

Mandar antuk kanugrahan, panjenengane Nabi Kilir kinarya Heh Nabiu’ilah, nartani ora ngemasi wus angenggoni gaib lir batine kawengku, iku njaring kitab embuh nyatane samangkin, dene pan wus kareban pirang jaman.

Saestu kawula angkah lari-lari angulati numpal-keli ngulandara, ngreranggeh nugraha jati Jeng Sunan ngandika ris, ujaring pawarta iku iya ing Baru Lakhah dumununging Nabi Kilir, tanah lumat agaib panggonanira.

Kaya ora kalampahan, sira adreng anglelari, sasat ngupaya kumandhang, Syeh Malaya matur aris, kenceng tyas-alun mangkin amung pangestu Pukulun sageda kasembadan, pinanggin Jeng Nabi Kilir kalilahna mangkat samangki kewala.

Ngungun sakala miyarsa Jeng Sunan ing Gunung Jati mring antepe Syeh Malaya winawas ing sambang liring, dadya damar sajati, wasana sewu jumurung lajeng ungkur-ungkuran, Jeng Susuhunan Gunung Jati, mangan mulat angkate sang Syeh Malaya

WEJANGAN SUNAN DRAJAT

1. Memangun resep teyasing sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain.


2. Jroning suko kudu eling lan waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap waspada).


3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan utk mencapai cita2 luhur kita tidak perduli dengan segala bentuk rintangan).


4. Meper hardaning pancadriya (kita harus selalu menekan gelora hawa nafsu).


5. heneng-hening-henung (dlm keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keheningan itulah kita akan mencapai cita2 luhur).


6. Mulyo guno panca waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat 5 waktu)


7. Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyup marang wong kang kedanan (berilah ilmu agar org menjadi pintar, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yg miskin, ajarilah kesusilaan pd org tdk punya malu, serta beri perlindungan org yg menderita).

DI KUTIP DARI BERBAGAI SUMBER......

SEMENTARA SEKIAN DULU NANTI DI SAMBUNG LAGI
MATUR SUWUN





Leave a Reply